Selasa, 10 Agustus 2010

DEKLARASI ANTI PERDAGANGAN MANUSIA

IKATAN BIARAWATI SELURUH INDONESIA (IBSI)
BEKERJASAMA DENGAN
ROHANIWAN, BIARAWAN/WATI DAN UTUSAN AWAM
PESERTA SEMINAR ANTI PERDAGANGAN MANUSIA


DEKLARASI
ANTI PERDAGANGAN MANUSIA



Pada hari jumat sampai minggu, tanggal enam sampai tanggal delapan bulan delapan tahun 2010, bertempat di Wisma Don Bosco – Lewoleba, kami para biarawan-biarawati dari kongregasi religius yang berkarya di Keuskupan Larantuka bersama utusan awam dan perwakilan Pemerintah dari instansi terkait, bertemu dan membuat refleksi bersama perihal isu “Perdagangan Manusia”. Refleksi bersama ini diilhami dan didukung penuh oleh IKATAN BIARAWATI SELURUH INDONESIA (IBSI). IBSI sendiri beranggotakan para Pemimpin Umum/Provinsial dari setiap kongregasi religius/biarawati di Indonesia bahkan berjejaring ke seluruh dunia. IBSI memiliki program dan perhatian besar terhadap persoalan kemanusiaan. Bahkan IBSI sudah membentuk pula komisi khusus untuk penanggulangan perdagangan perempuan (Counter Women Trafficking Commission) sebagai wujud kepedulian terhadap persoalan kemanusiaan yakni perdagangan manusia pada umumnya dan perdagangan perempuan khususnya.

Setelah mendapat masukan dari para narasumber dan berdialog penuh emphati serta berdiskusi secara mendalam dan bersaudara, kami menyatakan dan menegaskan sikap kami untuk “ANTI TERHADAP PERDAGANGAN MANUSIA” dalam bentuk apa pun. Pernyataan sikap kami ini didasarkan pada sejumlah referensi yuridis formal berupa regulasi pemerintah, refleksi iman dan moral atas peran profetis Gereja dalam merespon realitas sosial kemasyarakatan termasuk isu perdagangan manusia. Kami menemukan bahwa sesungguhnya respon terhadap persoalan perdagangan manusia adalah sekaligus panggilan kristiani dan kemuridan setiap pengikut Yesus sang Guru dan Pemimpin, Tuhan dan Gembala yang selalu berpihak kepada yang lemah dan tertindas. Pilihan keberpihakan kepada yang miskin dan tertindas itu merupakan spiritualitas Gereja yang kami wujudkan dalam rencana aksi sebagai upaya konkret untuk pemberdayaan dan kesadaran akan kerja ber-jejaring dengan berbagai pihak. Sejumlah butir gagasan dan point simpul wacana berikut ini adalah bagian dari risalah dan intisari refleksi kami yang bermuara pada kesepakatan dan rekomendasi.

1. Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambaranNya (imago Dei), karena itu betapa mulianya makhluk manusia itu. Manusia memiliki martabat sebagai pribadi dan itu begitu luhur, mulia dan indah, jauh lebih berharga daripada makhluk ciptaan yang lain. Hanya kita manusia saja makhluk yang mampu mengenal diri sendiri, menjadi tuan atas diri sendiri dan mengabdikan diri dalam kebebasan. Hanya manusia dapat hidup dalam kebersamaan dengan orang lain dan makhluk lain secara bersaudara (companion) yang memungkinkan dia bertumbuh dan berkembang. Maka, sesungguhnya penghormatan terhadap martabat manusia adalah hakekat penciptaan dan panggilan kristiani kita sekaligus merupakan ciri dari masyarakat yang sejahtera.

2. Kondisi ideal yang inherent dan melekat satu dalam pribadi manusia dengan hak dan kewajibannya yang harus dihormati itu malah tercoreng, ternoda dan dilecehkan oleh egoisme manusia dan pertimbangan kepentingan diri/kelompok. Oleh dosa, manusia menjadi terpecah belah dalam dirinya sendiri dan dalam kebersamaannya dengan sesama. Manusia tidak saling menghargai martabat pribadi yang indah dan mulia itu, bahkan sebaliknya terjadi dan terlibat melalui aneka kejahatan. Adapun bentuk kejahatan itu berupa eksploitasi seksual dan prostitusi, eksploitasi tenaga kerja khusus perempuan dan anak bahkan eksploitasi organ tubuh dan penyelundupan manusia. Semua kejahatan ini adalah bentuk perdagangan manusia (human trafficking atau trafficking in person) yang sesungguhnya merendahkan martabat manusia dan mengabaikan nilai-nilai luhur dalam diri manusia pada satu pihak dan pada pihak lain mencoreng wajah Allah sang Pencipta. Secara khusus perihal buruh migrant ada begitu banyak masyarakat kita yang merantau secara ilegal. Terbetik masalah demi masalah dengan aneka modus operandi mulai pada tahap rekruitmen, penampungan, pengiriman, pengangkutan sampai pada penempatan. Bahkan ketika kembali ke tempat asal pun para perantau kita masih mendapat pemerasan di perjalanan sampai di pelabuhan tujuan yang disaksikan oleh kaum keluarga dan pihak penegak hukum. Selain itu ada banyak soal lain yang menelantarkan kehidupan iman dan moral yang menciptakan disharmoni dalam keluarga. Ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan pun menjadi persoalan tersendiri apalagi di tengah adat-budaya masyarakat kita yang patriarkat yang menomorduakan perempuan, selain beban ganda, label negative dan anggapan perempuan sebagai makhluk yang lemah serta berbagai bentuk kekerasan yang memprihatinkan dan menyesakkan dada. Selain itu masalah HIV/AIDS sudah tiba pula di pekarangan kisah hidup kita dan menjadi ancaman yang menakutkan.

3. Terhadap aneka persoalan yang kami pandang semakin hari semakin memprihatinkan dan harus merupakan agenda yang ‘penting dan mendesak’ itu, ternyata belum ada tanggapan dan penanganan yang konkret dan berarti baik oleh masyarakat warga sendiri maupun oleh badan publik apalagi oleh para pemilik modal dan pasar. Sejumlah sebab yang kami refleksikan antara lain: Komunitas masyarakat pada umumnya masih menganggap perdagangan manusia sebagai bukan kejahatan serius, ada yang bahkan terlibat sebagai calo, makelar, sindikat dan mafia tenaga kerja yang melibatkan pula oknum pejabat dengan segala kepentingannya. Hambatan juga datang dari masyarakat kecil sendiri yang adalah korban malah takut dan atau malu melaporkan perlakuan jahat yang dialami. Pemerintah sebagai penanggungjawab publik belum memberi perhatian serius untuk merespon realitas bermasalah terkait buruh migrant itu. Tak ada alokasi dana daerah yang memadai yang secara khusus berpihak pada buruh migran, belum ada pula Perda yang mengakomodir kepentingan buruh migran. Pihak penegak hukum pun nampaknya tidak serius menangani aneka kejahatan perdagangan manusia, vonis yang diberikan terhadap pelaku kejahatan terlalu ringan sehingga tidak membuat jera sang pelaku. Sementara bukan rahasia bahwasanya pelaku kejahatan sendiri sering berjejaring secara teorganisir dan kita menjadi saksi yang tidak berdaya. Komunitas internal Gereja sendiri pun belum mewadahi secara memadai persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan ini.

4. Terhadap semua persoalan itu, kami merefleksikan semangat dasar untuk bermain peran dan terlibat sebagai Gereja. Melalui Inkarnasi dan peristiwa Salib, Allah telah menunjukkan keberpihakan yang hebat dan solidaritas yang luar biasa terhadap manusia yang berdosa. Dalam diri Yesus dari Nazareth, Allah hadir dan bermurah hati, menjadi dan mengambil bagian dalam perjuangan manusia. Karena itu, keterlibatan dan keberpihakan Gereja itu bukan pertama-tama karena realitas eksternal yang bermasalah. Keterlibatan Gereja juga bukan sekadar mimpi, ilusi, halusinasi atau imajinasi belaka melainkan merupakan panggilan dan spiritualitas internal Gereja. Ajaran Sosial Gereja menegaskan bahwa sesungguhnya relasi antara ajaran Gereja dan tanggapan terhadap masalah sosial bersifat timbal balik. Prinsip-Prinsip Ajaran Sosial Gereja melandasi perjuangan kemanusiaan, antara lain menghargai martabat manusia, bersikap solider, menghargai subsidiaritas, mengutamakan kepentingan umum dan tetap memilih berpihak kepada yang miskin. Karena itu, tidak cukup sebagai Gereja, kita merayakan keselamatan dalam ritus liturgi saja sambil mengabaikan tanggungjawab sosial kemasyarakatan. Bukankah Tuhan melalui nabi Amos telah mencela kita: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang pada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepadaKu korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah daripadaKu keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:21-24).

5. Sesungguhnya, melalui pengalaman dan peristiwa biblis dari masa ke masa, Allah tiada henti mengajar dan mengajak kita untuk terus keluar (exodus) sebagai Gereja Peziarah dan hidup sebagai orang asing di tanah Tuhan. Kesadaran sebagai orang asing di tanah Tuhan ini membutuhkan perubahan paradigma yang mengandaikan gerakan untuk eksodus. Kita keluar dari anggapan terhadap manusia sebagai barang untuk dimanfaatkan dan diperdagangkan ke tempat sakral yang dihormati. Manusia sebagai obyek yang dieksploitasi kepada situs/tempat kediaman Allah. Manusia yang mengejar egoisme pribadi dengan segala kesenangannya kepada tujuan cintakasih persaudaraan yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Maka, manakala kesadaran kritis kolektif dan kemurahan hati tumbuh semakin mekar dalam komunitas-komunitas hidup dan karya para murid Tuhan mulai dari dalam keluarga dan komunitas basis gerejani (KBG) kita, maka perubahan kepada kebaikan akan terjadi. Manakala sekelompok orang mengorganisir diri secara kuat untuk mewadahi kepentingan bersama dan berjuang dengan spiritualitas keberpihakan yang benar dan mengelola peluang politis untuk kebaikan bersama maka perubahan pun akan terjadi. Memang, perubahan kepada kebaikan itu tidak hanya membutuhkan komitmen manusiawi melainkan juga karya rahmat Allah.

6. Oleh karena itu, terkait isu perdagangan manusia dengan segala bentuk kejahatan dan modus operandinya, kami para rohaniwan dan biarawan/biarawati bersama utusan awam membangun kesepakatan yang menjadi komitmen kami dan mengharapkan dukungan segenap umat beriman sebagai persekutuan Umat Allah dan bagian tak terpisahkan dari Tubuh Mistik Kristus. Kami juga merumuskan dan menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada para pihak yang berkompeten karena jabatannya untuk kepentingan publik (bonum publicum) dan semua orang yang bertanggungjawab untuk kebaikan umum (bonum commune). Dan melalui penghayatan spiritualitas masing-masing kongregasi, kami memohon berkat Tuhan dan bimbingan Roh Kudus untuk menyentuh hati dan menyapa nurani setiap orang yang berkehendak baik tanpa diskriminasi ras, suku, agama, golongan dan kepentingan.

7. Butir-butir KESEPAKATAN
1) Memberi pemahaman dan motivasi melalui pendampingan keluarga untuk bermigrasi secara legal, aman dan terlindungi.
2) Bermitra dengan para pihak (termasuk dengan seksi PSE) untuk memberdayakan ekonomi keluarga, usaha kecil dan pendampingan bagi kelompok ekonomi produktif.
3) Menyelenggarakan pendidikan non formal untuk menciptakan lapangan kerja.
4) Melakukan kampanye anti perdagangan manusia dan katekese di sekolah dan asrama.
5) Membentuk “wadah komunikasi” relawan anti perdagangan manusia.
6) Bekerjasama dan berjejaring dengan Komisi Migran dan Perantau Keuskupan Larantuka, Pemerintah, Aparat Penegak Hukum, LSM dan pihak lain untuk menjadi bagian dari persoalan perdagangan manusia.

8. Butir-butir REKOMENDASI
1) Kepada Gereja:
i. Meminta bapak uskup Larantuka untuk menerbitkan Surat Gembala atau Nota Pastoral khusus tentang persoalan perdagangan manusia.
ii. Menganjurkan kepada pihak Keuskupan untuk membedah isu perdagangan manusia sebagai salah satu tema APP.
iii. Meminta Komisi Migran dan Perantau Keuskupan untuk membuat data base tentang migrasi di Keuskupan Larantuka.
iv. Meminta para agen pastoral paroki (pastor sampai ketua KBG) untuk membangun pemahaman yang benar tentang bermigrasi yang legal dan ancaman perdagangan manusia.
v. Mengadakan katekese anti perdagangan manusia di sekolah-sekolah dan asrama-asrama.
2) Bagi Pemerintah:
i. Menggunakan pelayanan nurani dalam memfasilitasi calon dan mantan buruh migran dan keluarganya serta memberikan pelayanan terpadu satu atap.
ii. Memberikan sosialisasi sampai ke tingkat masyarakat akar rumput tentang bermigrasi secara legal sebagaimana mandat UU No. 39 tahun 2004.
iii. Menerbitkan PERDA khusus terkait persoalan buruh migran.
iv. Memperjuangkan berdirinya Kantor Imigrasi di tingkat Kabupaten.
v. Mengalokasikan dana APBD untuk mengelola permasalahan buruh migran dan perdagangan manusia.
vi. Meminta aparat penegak hukum untuk sungguh-sungguh menegakkan aturan dan menindak tegas para pelaku kejahatan perdagangan manusia.
3) Bagi Komunitas Warga/Masyarakat:
i. Merencanakan migrasi secara aman, legal dan terjamin perlindungan terhadap hak dan kewajiban dengan program hidup yang jelas.
ii. Berhati-hati terhadap iming-iming merantau yang menggiurkan dari pihak yang tidak jelas identitas diri dan lembaganya.
iii. Tidak memanfaatkan perantauan sebagai pelarian terhadap persoalan dan tanggungjawab keluarga dan tuntutan adat.
iv. Meninjau sistem dan pemberlakuan keputusan adat yang memberatkan dan membebankan.
v. Berlaku adil terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam peran publik dan domestik baik dalam keluarga maupun dalam komunitas masyarakat yang lebih luas.
vi. Mewaspadai ancaman dan bahaya HIV/AIDS yang kebanyakan dibawa oleh mantan buruh migran.
vii. Berani melaporkan persoalan kejahatan perdagangan manusia kepada para pihak seperti Toga, Tomas, Toda, dan Penegak hukum.

Pada akhirnya, kami mengucap syukur kepada Allah yang berkenan menyediakan kesempatan bagi kami untuk menjadi lebih sadar dan semakin empati dalam merespon realitas sosial kemasyarakatan secara manusiawi. Kami juga mau berusaha membebaskan kenyamanan kami di balik tembok-tembok biara dan kungkungan egoisme kami untuk menjadi bagian dari masalah kemanusiaan sebagai panggilan kemuridan kami. Semoga Tuhan yang berbelarasa dengan kita umatNya dan berlimpah kemurahan hatiNya menguatkan kami. Semoga Ia melimpahkan rahmatNya kepada saudara-saudari umat beriman agar kita semua bangkit berjuang dalam suasana persaudaraan yang sejati dengan cinta yang sejati untuk kasih-persaudaraan yang sejati.



Lewoleba, 8 Agustus 2010


KAMI YANG BERKOMITMEN


Perwakilan Kongregasi Perwakilan Utusan Awam



Sr. Hilaria, CIJ Apolonaris Mayan


Counter Women Trafficking Commission – IBSI Perwakilan Gereja Lokal



Sr. Antonie Ardatin, PMY Rm. Gabriel U. da Silva, Pr.

Kamis, 05 Agustus 2010

Saat ini Lumen mengunjungi Kabupaten Lembata dalam rangkah mengikuti kegiatan Seminar Anti Perdagangan Perempuan yang diselenggarakan oleh Ikatan Biarawan/ti Indonesia bekerja sama dengan Keuskupan Larantuka/komisi Keadilan dan Perdamaian- Pastoral Migran Perantau yang terjadi pada hari/tgl: Jumad-Minggu,6-8 Agustus 2010 bertempat di Aula Don Bosco Lewoleba. Seminar ini dihadiri oleh utusan biarawan/ti se keuskupan Larantuka dan para pemerhati masalah kemanusiaan di kabupaten Lembata yang diwakili oleh  utusan masing-masing kecamatan dan intansi terkait di kabupaten Lembata..Pemakalah adalah:
  1. koordinator IBSI bagian perempuan
  2. P.Leo Sclabrinian
  3. Kapolres Lembata
  4. Kepala Nakertrans Lembata
  5. Rm.Dr.Gabriel Unto da Silva,Pr (Vikjen KL)
Lembata dipilih sebagai tempat diselenggarakan seminar ini dengan pertimbangan karena banyak TKW yang berasal dari wilayah ini kurang mendapat pendampingan serta perhatian baik dr gereja maupun dr pemerintah..Banyak TKI/TKW dr wilayah Flores dan Lembata berkeliaran di wilayah Nunukan dan sekitarnya dan banyak yang menjadi korban penipuan dan sebagainya. Kegiatan seminar ini akan dibuka jumad pkl. 16.00 wst.

pintu masuk kota Reinha Rosari Larantuka
kapela Tuan Ana                                       Kapela Tuan Ma